“Boleh saya tanya kepada kalian,
kira-kira hal tidak enak apa yang terbayang dalam sebuah pernikahan?”
*perlu jadi catatan yang ditanyai ini pada belum nikah.
Ada yang menjawab, “Kalau setelah menikah ternyata nggak sreg.” Ada juga,“Kalo nggak punya visi dan misi yang sama.”
“Sebetulnya jawabannya cukup mudah, nggak enaknya cuma satu, kok nggak dari dulu-dulu saya nikah.”
Banyak kondisi riil di lapangan seperti
KDRT, perselingkuhan, mulai terbukanya aib masa lalu yang akhirnya
menjadi sumber pertimbangan bulatnya keputusan untuk menikah. Dari semua
kasus itu menjadi pe-er buat kita semuanya untuk mencoba
mengaplikasikan teori yang sudah didapatkan ke dalam kondisi riil tadi.
Agar tidak ada orang yang menganggap bahwa pernikahan itu adanya yang
indah-indah saja.
Usia pernikahan pun akan menjadi
penentu. Biasanya dapat dilihat dari 3 tahun pertama bagaimana sepasang
suami istri membangun pondasi rumah tangganya. Oleh karenanya banyak
artis dan masyarakat di sekitar kita yang akhirnya memilih cerai karena
gagal dalam membangun pondasi pernikahannya. Pernikahan hanya dijadikan
sebagai sarana uji coba (trial and error). Kebanyakan disebabkan karena
otoritas yang berlebihan, kelas yang lebih tinggi, dan kecantikan atau
ketampanan fisik yang menjadi ukuran ketika memilih pasangan.
Mau Nikah atau Siap Nikah?
Ada yang tahu perbedaan antara keduanya?
Ya, mereka yang mau menikah belum tentu siap, tetapi yang siap sudah
pasti mau. Ada yang sudah siap tapi nggak mau nikah? (*perlu dikasih
tanda tanya besar, nih). Menikah adalah kebutuhan dasar sebagai manusia.
Tetapi hal utama yang harus didahulukan sebelum banyaknya kriteria yang
akan diminta kepada calon pasangan tak boleh lebih dari bagaimana
komitmen dan keimanan yang harus tertancap kuat dalam diri untuk
menghadapi setiap jengkal proses yang akan dilalui ke depan. Seperti
seorang dokter yang dianggap melakukan malpraktek karena sebuah kejadian
yang tidak diinginkan (adverse event), pernikahanpun bisa jadi demikian, riil dan harus dihadapi.
Berdasarkan pengamatan pembicara
dari realita, ada 8 faktor atau alasan mengapa akhirnya seseorang tak
juga memutuskan SIAP menikah :
Pertama, masih punya
tanggung jawab keluarga. Kebanyakan dan biasanya alasan ini dari pihak
laki-laki, apalagi ketika ia menjadi tulang punggung keluarga (*bukan
bermaksud menghakimi. Mau protes? Silakan.)
Kedua, karena saya
belum mapan (cukup). Persoalannya kemudian, angka kecukupan itu berapa?
Walaupun kita harus realistis bahwa pernikahan itu memang butuh biaya.
Banyak yang kemudian bertanya, “Ustad biasanya pernikahan itu butuh uang berapa?”
“Kamu punya uang berapa?” Tanya ustad
balik. “500ribu habis, 100 juta habis, 1 milyar pun habis. Bandingkan
antara pesta pernikahan artis yang digelar hingga menghabiskan dana
bermilyar, dengan mereka yang menikah di sudut-sudut mushola dan hanya
menghabiskan dana tak lebih dari 500ribu.”
Jadi tidak ada ukuran yang jelas untuk
sebuah kemapanan. Makanya harusnya tidak boleh dijadikan sebagai alasan.
Ingatlah janji Allah berikut :
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MENGKAYAKAN MEREKA DENGAN KARUNIANYA. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (An Nuur 32)
Dan sungguh, menunda pernikahan berarti
kita terhalang untuk membentuk sebuah keluarga agar semakin banyak
menebarkan kebaikan di masyarakat.
Ketiga, merasa punya kekurangan dan nggak pede, terjebak pada hal-hal fisik, dan selalu ingin tampil secara sempurna
Ada cerita seorang lelaki, buta, dan
Allah menakdirkan ia mendapatkan jodoh dengan kondisi yang sama. Dan
mereka pede-pede aja tuh. Subhanallah anaknya cantiknya luar biasa dan
normal. Anaknya inilah yang kemudian menuntun kedua orang tuanya
berjalan-jalan keliling kota.
So, ingin tampil secara sempurna itu sah
saja, tapi kalau kitanya memang biasa saja ya terima. Gemuk dan kurus
itu perlu disyukuri. Dan untuk mengurangi ketimpangan karena
ketidakpedean seharusnya keduanya berkomitmen untuk saling mengisi.
Keempat, kurang sreg dengan pasangan yang ditawarkan saking perfesksionisnya kita
Tak jarang tiap individu memiliki
kriteria setebal anggaran APBD. Dan semuanya tak luput dari kriteria
fisik dan duniawi. Introspeksilah terhadap diri masing-masing. Yakini
bahwa yang mendapatkan pasangan yang cantik dan ganteng itu belum tentu
enak. Suami ganteng, jalan di mall, eh istrinya sewot kalo suaminya
dilihat orang. Dapat istri cantik, digodain orang, bingung lagi.
Kelima, trauma dengan kegagalan masa lalu
Biasanya jika sudah membawa dampak pada
aspek ruhiyah hal ini perlu penanganan khusus melalui konselor. Beberapa
kali gagal dalam sebuah proses menuju pernikahan bisa jadi trauma
tersendiri. Dapat cerita dari seorang kawan yang akan menikah. Dari
pihak laki-laki dan perempuan sudah setuju, undangan sudah disebar,
semuanya sudah siap. Tapi H-1 tiba-tiba pihak perempuan membatalkan.
Alasannya sih saya kurang tahu. Tapi lihatlah betapa besar dampak yang
akan ditimbulkan pada pihak laki-laki? Oh, ini masih mending.
Ada yang sudah menikah, ijab qabul,
manten disalami oleh tamu yang berdatangan. Tapi hari-hari setelahnya
menjadi hambar karena selama 3 hari berturut-turut sang istri tak
disentuh sama sekali. Dengan alasan pihak laki-laki, baik manten maupun
orang tuanya kurang sreg. Dan itu tidak dibicarakan sebelum menikah,
sebelum akad, sebelum ijab qabul.
Keenam, kurang iman - sudah jelas ya
Ketujuh, masih konsentrasi dengan amanah lain
Kedelapan, jodoh yang tak kunjung datang
Inilah yang paling sulit untuk kita
jawab. Karena semuanya ada hak prerogativ Allah semata. Yang bisa kita
lakukan adalah menanti dan sabar. Kisah berikut mungkin bisa diambil
ibrahnya oleh pembaca semua.
“Oh ibu, usiaku sudah lanjut, namun
belum datang seorang pemuda pun meminangku. Apakah aku akan menjadi
perawan seumur hidup?” seorang gadis, kaya raya, dari Bani Makzum
bernama Rith’ah Al Hamka *hemm, yang kaya aja bingung cari jodoh,
apalagi kita yang biasa aja.
Kemudian si ibu datang kepada ahli nujum
dan dukun. Yang penting anaknya dapat jodoh, Tapi setelah sekian lama
tetap tak mendapat hasil. Rith’ah Al Hamka menjadi semakin bermuram
durja. Hanya menatap cermin untuk memandang diri sambil terus bertanya,
“Mengapa sampai hari ini tak juga kunjung datang orang yang akan
menikahiku?”
Lalu datanglah seorang saudara jauh dari
ibunya yang memiliki anak pemuda yang cukup tampan dan kemudian
bersedia menikahi Rith’ah. Keduanya menikah. Namun, beberapa waktu
kemudian pemuda itu menghilang. Ternyata keinginan pemuda itu menikahi
Rith’ah hanya terletak pada hartanya yang berlimpah
Saking stressnya nih, akhirnya si
Rith’ah membeli beratus gulung benang untuk dipintal. Lalu kemudian
diuraikan lagi, lalu dipintal lagi, dan hal itu yang terus dilakukan
sampai akhirnya ia meninggal. Begitulah asmara, bisa membuat orang
menjadi gila. Dan kisah gadis Bani Makzum ini diabadikan dalam Al Quran
Surat An Nahl 92
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
Apa saja yang harus dilakukan dalam proses penantian itu?
Pertama, mencoba melakukan update diri dalam segala hal
Jika saya jadi manajer HRD salah satu
perusahaan, tentu saya akan memilih karyawan terbaik yang bukan sekedar
punya talenta tapi MULTITALENTA. Pun begitu dengan kita. Selama menungu,
jadilah seorang yang multitalenta agar ketika jodoh kita sudah datang,
ilmu yang kita miliki cukup. Hafalan Al Quran, hadist, dan meningkatkan
kapasitas keilmuan. Kelak ketika menikah bisa menjadi sumber jawaban
dari masalah dalam keluarganya. Dan itu, LANGKA. Nggak semua orang punya
kesempatan seperti itu. Menjadi seorang yang oke. Mungkin orang-orang
melihat tak sempurna secara fisik, tapi ia sempurna secara ruhiyah
maknawiyah.
Kedua, berikhtiar dengan benar.
Jalan yang baik ada, jalan yang buruk
sangat banyak. Sebagaimana disebutkan dalam hadist qudsi, “Allah itu
sebagaimana prasangka hamba-Nya”. Dan yang dimaksud dengan ikhtiar yang
benar di sini adalah berhusnudzon kepada Allah atas segala ketetapan-Nya
serta menjemput jodoh dengan jalan yang baik.
Ketiga, sabar
Ini klise, tapi harus kita yakini
kebenarannya. Kita harus meyakinkan diri kita kalau kita sabar Allah
akan memberikan yang terbaik dalam hal segalanya. Yakinlah bawa dengan
kesabaran tanpa batas, Allah akan memberikan jodoh yang terbaik. Entah
itu dari aspek fisik, akhlak, kompetensi, maaliyah, ruhiyah, dan yang
lain. Dan kesabaran akan menjadi proses tawakkal kita.
Andaikan kita semua tahu keuntungan dalam bersabar, mau tahu?
1. Berdampingan dengan Allah, karena Allah sangat menyukai orang-orang yang sabar
2. Kita akan memperoleh berita yang menyenangkan
3. Bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak berdosa
Kok bisa? Ya, karena salah satu bagian
sabar adalah sabar menerima cobaan hidup. Bukankah cobaan yang sedang
melanda kita sat ini (tentang jodoh yang tak kunjung datang) jauh lebih
ringan daripada cobaan yang diberikan Allah kepada generasi terdahulu?
4. Insyaallah akan diberi pahala yang berlipat
Kalau saja, orang tahu dan dibukakan
segala nikmat tentang pahala, niscaya tak akan ada hiruk pikuk (*waktu
itu di kenpark lagi rame turis domestik soalnya) seperti ini. Orang akan
banyak meninggalkan kesenangan duniawi kalau tahu betapa berharganya
pahala yang tidak bisa diandaikan dengan jumlah mobil, rumah, dan segala
kemewahan yang lainnya.
5. Terbebaskan dari siksa neraka
Dan tentu, itu adalah harapan kita
semuanya. Kita coba tengok kisah Abdurrahman bin Auf. Sahabat Rosulullah
yang sangat luar biasa dalam bersedekah. Kala itu Abdurrahman bin Auf
datang ke kota Mekkah dengan membawa 700 ekor unta beserta
perbekalannya, LENGKAP. Suatu hari beliau bertemu dengan Aisyah. Aisyah
mengatakan kepada Abdurrahman bin Auf, bahwa ketika nanti di yaumul
hisab ia akan berjalan dengan merangkak. Mengapa? Karena dengan banyak
harta pasti akan dapat banyak pertanyaan. Dan setelah mendengar hal
tersebut Abdurrahman bin Auf langsung menyedekahkan semua perbekalan
yang dibawanya. Subhanallah…Dan ini adalah bentuk kesabarannya. Lalu
kenapa kita tidak bisa? Bisa, pasti bisa!!!
6. Menjadi hamba yang dicintai Allah SWT
Tentu, tak ada cinta yang lebih besar, dari kecintaan Rabb kepada hamba-Nya.
Semoga bermanfaat.[/NF]
0 komentar:
Posting Komentar